Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, melainkan puasa juga bertujuan untuk menahan nafsu amarah, nafsu syahwat, menjaga pandangan, dan sebagainya. Dalam puasa, terdapat hal-hal yang dilarang untuk dikerjakan. Apa saja hal-hal tersebut, berikut penjelasannya.
Makan dan Minum
Saat berpuasa, umat muslim dilarang untuk makan dan minum mulai dari terbitnya fajar hingga terbitnya matahari. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al-Baqarah: 187)
Namun, jika tidak sengaja atau lupa makan dan minum pada saat menjalankan puasa, maka hal tersebut tidak mengapa. Asalkan pada saat ingat, makanan atau minuman yang masih ada di mulut segera dibuang dan langsung berkumur. Hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Hurairah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum (ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya karena hal itu berarti Allah telah memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari).
Memasukkan Benda ke dalam Tubuh Melalui Lubang yang Terbuka
Hal yang membatalkan puasa berikutnya adalah memasukkan benda ke dalam lubang tubuh yang terbuka, seperti lubang telinga, lubang hidung, lubang dubur, lubang mulut, dan lubang kemaluan. Jika ada benda yang dengan sengaja dimasukkan ke dalam lubang tubuh tersebut, maka puasanya akan batal. Terkecuali membersihkan lubang dubur setelah buang hajat dan lubang tubuh yang tidak terbuka, seperti debu atau air yang masuk melalui pori-pori.
Muntah dengan Disengaja
Pada saat bepuasa, muntah merupakan suatu perkara yang tidak membatalkan puasa. Namun, jika muntahnya disengaja, maka puasanya akan batal. Hal ini sesuai hadits.
Dari Abu Hurairah. Ia berkata telah bersabda Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam, “Barangsiapa dipaksa oleh muntah, maka tidak ada qadla atasnya; tetapi barang siapa sengaja muntah, maka wajib atasnya qadla.”
Berhubungan Suami Istri
Melakukan hubungan suami istri atau hubungan intim dengan istrinya yang sah merupakan suatu kebaikan. Bahkan akan mendapatkan pahala. Namun, jika berhubungan suami istri pada saat puasa, maka aktivitas tersebut merupakan suatu perkara yang dapat membatalkan puasa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Istimna (Berupaya Mengeluarkan Mani)
Mengeluarkan air mani dengan sengaja, misalnya mastrubasi atau bermesraan dengan istri yang menyebabkan keluarnya air mani dapat membatalkan puasa. Namun, jika bermesraan dengan istri tanpa keluarnya air mani, maka puasanya tetap sah. Hal ini sesuai dengan hadits,
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Adalah Nabi Salallahu ‘Alaihi wa Salam menciumnya padahal ia shaum dan bermubasyarah (bermesraan) padahal ia shaum, tetapi adalah ia orang yang paling dapat menahan nafsunya dari antara kamu.
Baca Juga: Tanda-tanda Menstruasi
Haid dan Nifas
Wanita yang sedang haid dan nifas dilarang untuk menjalankan ibadah puasa. Jika haid dan nifasnya keluar pertama kali pada saat puasa, maka puasanya juga batal. Hal ini sesuai dengan hadits,
Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
Namun, jika puasa yang ditinggalkan termasuk puasa wajib, maka wajib untuk menggantinya.
Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335)
Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21).
Hilang Akal dan Murtad (Keluar dari Islam)
Seorang yang hilang akalnya dan murtad (keluar dari Islam) tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan puasa. Karena ibadahnya tidak dihitung sebagai seorang muslim.