Setahun kemudian, suara hatiku mulai mengungkapkan kalau akan tiba waktunya bagiku dan Arnie untuk memutuskan apakah kami mau menikah. Suara hatiku ini memaksaku untuk membuka pembicaraan tentang komitmen dengan pasangan baruku. Namun aku merasa sangat ragu.
Salah satu alasannya adalah ada perasaan kalau sebenarnya tugas prialah untuk membuat langkah pertama. Bagaimana pun juga, suara hatiku menunjukkan kalau Arnie sudah cukup nyaman dengan kondisi saat itu. Ia bilang kalau Arnie tidak merasa perlunya perubahan. Akulah yang ingin mengalami pernikahan yang mengagumkan. Jadi, akulah yang perlu menanyakannya.
Alasan lainnya, aku tidak begitu yakin kalau aku mau menikahi Arnie. “Bagaimana bisa kutahu kalau dialah orang yang tepat buatku?” kutanya suara hatiku.
- Artikel ini merupakan bagian dari seri Soulmate, selengkapnya dapat dibaca di Soulmate: Perjalanan Mencari Kecocokan Pasangan Jiwa
- Baca juga artikel sebelumnya Cerita Soulmate #8: Pertemuan Dua Hati
“Kalian berdua cukup akrab, kalian berdua mendedikasikan diri ke tujuan yang sama, dan kalian berdua juga sama-sama butuh mencintai seseorang, dan juga dicintai seseorang. Mengapa tidak jadikan saja?”
“Aku tidak paham,” aku menolak. “Apakah kamu bilang kalau Arnie dan aku sudah seharusnya menikah?”
“Yang kubilang, kalian berdua bisa menikah jika kalian sama-sama menginginkannya. Keberhasilan pernikahan itu akan ditentukan oleh apa yang kalian berdua lakukan. Kalian bisa sama-sama menjadi pasangan yang baik untuk satu sama lain jika kamu memutuskannya untuk jadi seperti itu.”
“Tapi bagaimana kalau Arnie tidak mau menikahiku?” Aku lanjut membantah.
“Jika Arnie memutuskan tidak mau menikahimu setelah dia dapat kesempatan memikirkannya selama beberapa bulan, sudah waktunya bagimu untuk move on ke orang lain yang siap untuk komitmen yang lebih dalam. Setelah satu tahun bersama, kalian sudah saling tahu satu sama lain cukup dalam. Hubungan ini takkan berkembang lebih jauh lagi kecuali kalian memutuskan untuk berkomitmen lebih dalam. Informasinya sudah cukup. Sekarang hanya masalah memutuskan apakah kalian berdua akan memberi kesempatan untuk pernikahan.”
“Tapi tampak menyedihkan kalau seorang wanita mengungkapkan pada pacarnya kalau ia ingin menikahinya,” aku menolak.
“Mengapa kamu harus malu akan keinginanmu untuk menikah? Tanya suara hatiku. “Bukankah itu yang sebagian besar orang inginkan? Bukankah itu yang sbeagian besar orang lakukan? Apa malunya dari menginginkan apa yang semua orang inginkan?”
“Selain itu, kamu hanya akan mengatakan pada Arnie kalau kamu sudah menetapkan hatimu untuk merasakan petualangan membangun pernikahan yang mengagumkan. Kamu memberikannya kehormatan dari mengajaknya ikut bersamamu di dalam petualangan itu.
“Jka dia tidak mau melangkah ke pernikahan yang mengagumkan denganmu, tidak masalah. Orang lain yang akan melakukannya. Tapi melanjutkan hubungan seperti ini tanpa ada kejelasan kalau akan berkembang menjadi pernikahan yang kamu inginkan tidaklah pantas untukmu. Beri dia waktu 6 bulan untuk memikirkannya. Kalau dia masih tidka bisa memutuskan untuk lanjut, kamu pergi pergi sendirian dan mencari pasangan lainnya.”
Aku mulai membagikan hasil perenungan ini dengan Arnie. Dia cukup tersinggung, dapat kumengerti sebenarnya, atas tekanan untuk menikahiku. Suara hatiku mengarahkan kalau aku perlu menekankan bahwa aku tidak memaksa Arnie melakukan apa punyang tidak dia inginkan. Suara hatiku juga menekankan kalau aku tidak memaksa Arnie untuk buru-buru memutuskan.
Namun tetap saja, jika setelah memikirkan dalam-dalam, Arnie tidak merasa kalau ia mau membangun masa depan bersamaku, sangat masuk akal bagi kita untuk berpisah dan menemukan pasangan baru yang menginginkan hal yang sama dalam hidup.
Kujelaskan kalau aku sudah lama menginginkan hubungan suci dengan komitmen mendalam. Aku juga ingin mendapatkan hikmah dan pelajaran yang timbul dari hubungan seperti itu. Arnie sudah pernah menikah dan sedang membesarkan 2 anak.
Jadi aku paham kalau dia tidak peduli harus menikah lagi atau tidak. Aku juga paham kalau dia tidak merasa kalau akulah orang yang akan mengarungi perjalanan itu dengannya. Tapi kami tidak akan bisa terus bahagia bersama jika aku mendambakan komitmen sementara dia tidak peduli akan hal itu.
Itu akan membuatku merasa tertolak. Aku pun mulai percaya kalau terus bersamanya membuatku kehilangan kehidupan yang kuinginkan. Lebih baik kalau kami berpisah sebagai teman saat kami masih saling mencintai dan saling menghormati daripada berlanjut cekcok dan saling benci.
Kuminta Arnie untuk berjanji terus mengutarakan apa arti diriku dalam hidupnya. Jika dia sudah yakin tidak mau menikahiku, penting baginya untuk memberitahuku, agar kita berdua sama-sama bisa menemukan pasangan yang lebih sesuai.
Arnie bertanya apa yang akan terjadi kalau dia tidak bisa memutuskan. Saat kutanya suara hatiku, dia bilang kalau Arnie terlalu lama tidak bisa memutuskan, kesimpulannya adalah dia tidak mau menikahiku. Suara hatiku menyarankan kalau saat itulah waktunya bagiku untuk move on.
Baca juga kelanjutan dari cerita ini di Cerita Soulmate #10: Persiapan untuk Menikah