Karolin akhirnya menyelesaikan pergulatan ego dengan suara hatinya (baca: Cerita Soulmate #3: Makna Mendengarkan Suara Hati. Kini ia siap untuk bicara sejujur-jujurnya dengan Bren.
Awal mula percakapan Karolin dengan Bren
Akhirnya, aku melakukannya. Walau percakapan dengan suara hati yang satu ini adalah pengalaman paling menyiksa yang pernah kualami. Sangat memalukan rasanya membicarakan semua hal licik dan kejam yang sudah kulakukan pada Bren agar dia merasa dirinya bersalah.
“Ingatkah waktu itu saat di restoran saat kamu bilang ‘x’ dan kubalas ‘y;? Lalu kau akhirnya merasa sangat bersalah? Sebenarnya, aku melakukannya untuk membuatmu berpikir kalau kamu sudah mengatakan hal tidak sensitif yang benar-benar melukaiku.”
Bren tampak terpaku saat dia mendengarkan pengakuanku. Aku tidak bisa membaca apa yang ia pikirkan dari raut wajahnya. Mungkin karena aku merasa kesulitan bahkan hanya untuk menatap matanya. Namun apa lagi yang bisa ia pikirkan, selain kalau aku ini seorang pelacur yang tak tahu malu?
“Kurasa itulah semua yang mau kukatakan padamu Bren,” kuakhiri lemah. “Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk mengatakannya. Terima kasih untuk segalanya. Kamu sudah menjadi anugerah dalam hidupku dan aku takkan pernah melupakanmu. Aku juga takkan menyesali segala yang telah terjadi di antara kita. Kamu ini pria yang mengagumkan, dan aku sudah belajar banyak dari mengenalimu. Aku benar-benar meminta maaf karena aku belum menjadi teman yang baik bagimu. Kuharap hidup memberikanmu cinta, kesuksesan, dan segala yang kamu cari.”
Aku benar-benar tidak siap menerima jawaban Bren. “Kamu adalah wanita paling mengagumkan!” katanya sambil tersenyum. Dia menghampiri dan memelukku. Kami menangis dan tertawa puas malam itu. Bayang-bayang sudah diangkat dari hubungan kami. Aku tidak pernah merasa sedekat ini dengannya. Aku juga tidak pernah menyadari besarnya rasa cintanya padaku sebelum ini.
Kejelasan dalam hubungan kami ini melaju sampai membuat kami menyimpulkan bahwa walau kami sama-sama mencintai, kami tidaklah cocok. Pada tahap hidup ini, harapan Bren adalah fokus pada kariernya. Waktu dan perhatian yang bisa dia berikan untuk hubungan kami sangatlah terbatas. Kami berpisah beberapa minggu kemudian sebagai sahabat dekat. Aku tahu kalau itulah keputusan yang benar, begitu juga dia.
Apa yang terjadi setelah melepas cinta yang salah?
Saat melepaskan Bren, aku merasakan ada yang bergeser di dalam diriku. Namun aku belum bisa secara jujur berkata kalau perubahan itu terasa positif. Di satu sisi, aku bertekad untuk tidak pernah lagi bertindak buruk pada pria dalam hidupku. Di sisi lain, aku juga bertekad untuk tidak akan pernah lagi memanipulasi pria dengan bujuk rayu, hal ini ternyata membuatku semakin putus asa akan hubungan yang bisa aku ciptakan.
Rasanya seperti aku sedang mendayung dan kayuhku hanyut. Sekarang aku terbawa arus di laut yang tidak ramah tanpa ada cara untuk bermanuver sama sekali.
Inilah aku, memasuki usia paruh baya tanpa kecantikan yang istimewa, kekayaan, kesuksesan, atau pun daya tarik lainnya. Dan tentu saja semua ini terjadi pada waktu media sangat terobsesi dengan statistik yang menyebutkan kalau wanita single di usiaku lebih berpeluang dibunuh oleh teroris daripada menemukan suami. Jika aku tidak bisa lagi menangkap pria dengan bujuk rayu dan rasa bersalah, harapan apa lagi yang ada buatku?
Kukira pada satu masa aku hanya menyerah. Pertama kalinya dalam hidupku, aku menghadapi kemungkinan kalau aku tidak akan pernah menemukan pasangan jiwa yang selalu aku impikan.
Aku sudah berusia 40 tanpa kesuksesan mencolok dalam hal apa pun. Bisa jadi, mungkin aku ini memang ditakdirkan jadi jomblo sepanjang hidupku.
Pada akhirnya, Karolin menemukan cinta dalam hidupnya. Namun apa yang menjadi titik balik dari kondisinya yang seperti ini? Simak dalam artikel Cerita Soulmate #5: 5 Kunci Menuju Hubungan dengan Kecocokan Jiwa.