Begitu kubuka mataku, kulihat Arnie sudah menyelesaikan sesi self insight-nya sendiri. Untuk mengalihkan pembicaraan dari jawaban suara hatiku, aku bertanya padanya tentang hasil refleksi dirinya. Tapi ia jawab kalau ia belum mendapatkan hasil apa pun dari menggali ke dalam dirinya.
Arnie bertanya balik apakah aku sudah mendapat sesuatu. Aku pun serta-merta tertekan. Aku mencoba untuk agak berbohong, tapi tampaknya aku tidak bisa terlepas dari hal ini.
“Sebenarnya aku mendapat sesuatu, tapi aku merasa tidak terlalu nyaman mengatakannya. Jadi kukira sebaiknya aku harus hanya mengatakannya saja lalu melewatkannya. Tapi aku tidak mau kamu salah paham.
“Aku membayangkan kita berdua berjalan ke suara hatiku dan bertanya apa yang harus kita lakukan, workshop atau apa pun. Tapi, suara hatiku bilang kalau kita harus membentuk hubungan yang suci.”
- Artikel ini merupakan bagian dari seri Soulmate, selengkapnya dapat dibaca di Soulmate: Perjalanan Mencari Kecocokan Pasangan Jiwa
- Baca juga artikel sebelumnya Cerita Soulmate #7: Ketika Pembimbing Suara Hatiku Berkata Kalau Dialah Jodohku
Kupandangi perubahan ekspresi kecil di wajah Arnie, yang menjadi kaku tapi tetap sopan saat dia menangkap makna perkataanku. Seperti yang kutakutkan, teman baruku ini tampak sedikit terkejut. “Ya, ide yang bagus!” aku mengejek sarkatis dalam hati pada suara hatiku sebelum mencari apakah ada yang bisa kukatakan untuk meyakinkan Arnie kalau aku tidak menganggap itu terlalu serius.
“Hal itu bukan berarti bermakna sesuatu,” gumamku. “Maksudku, aku mungkin salah menangkap pesannya. Atau bisa jadi ini artinya… itu… ya, aku tidak mau kamu berpikir kalau aku menyarankan…. Oh, ini malah bikin tambah canggung!”
Sambil aku menunggu, Arnie perlahan sadar dari keterkejutannya. Yang membuatku merasa lega, dia tampak terlihat serius dan berpikir, bukannya tersinggung.
“Ya,” dia bilang hati-hati, “Perlu kuakui kalau aku sudha menginginkan hubungan yang suci untuk waktu yang cukup lama. Aku sudah mencoba untuk memengaruhi beberapa mantan pacarku untuk bekerja bersamaku, tapi mereka belum pernah belajar Course. Mereka terus berkata kalau in bukanlah yang mereka cari. Aku belum benar-benar berpikir….”
Ia jadi terdiam kebingungan. Kami duduk bersama dalam diam selama beberapa meni untuk mencerna situasi. Sampai akhirnya ia perlahan-lahan melanjutkan.
“Ya, aku tidak bisa bilang aku mengharapkan hal seperti ini. Aku kira kamu juga tidak mengharapkannya. Tapi kurasa itu menandakan hal ini. Kalau seseorang menawarkan untuk bekerja dalam hubungan yang suci denganmu, itu benar-benar tawaran yang tidak bisa kamu tolak.
“Jadi, jika kamu mau mencoba, aku juga akan mencoba. Aku tidak benar-benar tahu semua ini artinya apa, atau apa yang sebaiknya kita lakukan nanti, tapi aku tidak bisa berkata tidak pada kemungkinan akan hubungan suci. Karena itulah yang telah kuminta dari Tuhan untuk sekian lama.”
“Aku juga belum tahu apa yang sebaiknya kita lakukan,” balasku. Aku lega oleh jawabannya. Tapi di sisi lain, sekarang muncul masalah baru. “Kukira kita hanya perlu mendengar dan merespon… yaaa…. saling mengenal satu sama lain sedikit-sedikit dan melihat apa yang terjadi.”
Arnie tampak berpikir kalau ide ini cukup masuk akal. Kami berdua sama-sama gugup, ingin sore itu berakhir. Masing-masing dari kami ingin memikirkan perkembangan yang cukup aneh ini.
Kami berpisah dengan jabat tangan canggung setelah setuju untuk bertemu lagi di lain waktu. Saat kututup pintu di belakangnya, aku bertanya-tanya aku sudah membawa diriku ke situasi seperti apa. Ternyata kelak Arnie juga cerita padaku kalau saat itu ia bertanya-tanya hal yang sama.
Pada akhirnya, aku ternyata masuk ke hubungan menakjubkan dengan seorang lelaki yang mengagumkan. Selama setahun ke depan, kami menjadi teman dekat sekaligus kekasih. Aneh memang pada awalnya, mengejar hubungan tanpa adanya getaran.
Tidak ada perasaan berdebar-debar yang kutemukan selalu memabukkan di hubunganku sebelumnya. Karena tidak ada dari kita berdua yang jatuh cinta, semuanya terbawa dengan cara yang sama-sama jujur, bersahabat, dan saling hormat. Hubungan seperti ini mengisi jiwaku namun sambil membuat egoku merasa frustrasi.
Baca juga kelanjutan dari cerita ini di Cerita Soulmate #9: Memantapkan Hati untuk Menikah